BAB
1
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mendengar kata pedagang asongan, supir, kondektur, dan calo mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita. Pedagang asongan adalah para pedagang yang biasa menjajakan dagangannya di sekitar terminal dan di dalam bus-bus. Mereka selalu berupaya untuk menarik pembeli agar membeli dagangannya, yang kadang juga suka terlihat sedikit memaksa. Supir adalah para pengemudi bus atau angkot yang selalu terlihat di lingkungan terminal. Kondektur adalah orang yang membantu supir untuk menarik penumpang ke dalam angkot atau bus, sedangkan calo adalah perantara atau reseller. Kata calo kadang bersifat negatif karena apa yang calo lakukan adalah menggunakan kesempitan orang menjadi suatu kesempatan. Calo juga identik dengan preman atau penguasa daerah tertentu yang sudah menjadi objek pencariannya.
Di lingkungan terminal, kita terkadang sering mendengar pembicaraan yang diucapkan oleh pedagang asongan, supir, kondektur, dan calo yang sering mengucapkan kata-kata kasar. Penulis sendiri pernah melihat bagaimana para supir angkot atau bus dengan wajah ‘terpaksa’ memberi sejumlah persenan kepada calo. Mungkin bagi sebagian orang hal yang dilakukan calo itu biasa saja, sehingga mereka pantas menerima sejumlah uang.
Lalu apa yang akan terjadi jika para supir dan kondektur tersebut tidak memberikan uang yang tidak sesuai dengan keinginan calo. Yang terjadi selanjutnya adalah teriakan kata-kata makian atau kata-kata kasar (sarkasme) yang keluar dari mulut calo tersebut kepada supir dan kondektur. Sarkasme yang keluar dari mulut calo-calo itu biasanya adalah nama-nama binatang dan jenis kelamin seseorang seperti ‘anjing’, ‘monyet’, ‘babi’, dan sebagainya. Jika supir tidak menerima perkataan yang dilontarkan calo kadang-kadang mereka pun membalas dengan makian yang lebih kasar, sehingga sering terjadi “adu mulut” antara calo, supir, dan kondektur. Hal ini juga sering diikuti oleh pedagang asongan yang sering menambah suasana menjadi ricuh.
Salah satu fenomena kebahasaan yang penulis dapatkan adalah tuturan yang diucapkan oleh salah satu calo dan supir angkot di Terminal Senen :
Supir : “Yeuh duitna, dua rebu nya?”
Calo : “ Anjing maneh mah ngan sakieu!”
Supir : “ Terus mentana sabaraha? Urang ge can nyetor, teu boga duit sia!”
Calo : “ Mbung nyaho aing mah, sarebu deui atuh!”
Supir : “ Lebok tah duitna, blegug maneh mah!”
Calo : “Eh…dasar supir monyet”.
Fenomena kebahasaan di atas adalah penggalan beberapa kalimat realisasi kesantunan berbahasa yang diucapkan oleh calo dan supir angkot di Terminal Senen Jakarta Pusat. Penulis akan meneliti fenomena kebahasaan yang terjadi pada tiga bahasa, yaitu
Calo : “ Anjing maneh mah ngan sakieu!”
Supir : “ Terus mentana sabaraha? Urang ge can nyetor, teu boga duit sia!”
Calo : “ Mbung nyaho aing mah, sarebu deui atuh!”
Supir : “ Lebok tah duitna, blegug maneh mah!”
Calo : “Eh…dasar supir monyet”.
Fenomena kebahasaan di atas adalah penggalan beberapa kalimat realisasi kesantunan berbahasa yang diucapkan oleh calo dan supir angkot di Terminal Senen Jakarta Pusat. Penulis akan meneliti fenomena kebahasaan yang terjadi pada tiga bahasa, yaitu
bahasa Sunda, bahasa Jawa , dan
bahasa Indonesia. Banyak hal yang membuat kata-kata kasar keluar dari
pemakainya. Sarkasme itu sendiri kadang bisa memancing kemarahan orang yang
dituju, tapi kadang juga tidak berpengaruh karena itu sudah menjadi hal yang
lumrah untuk keduanya.
Dilihat dari sudut penuturnya,
bahasa itu berfungsi personal atau pribadi (Halliday 1973; Finnocchiaro 1974;
Jakobson 1960 menyebutkan fungsi emotif). Maksudnya, si penutur menyatakan
sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan
emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan
tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si
penutur sedih, marah, atau gembira.
Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar (Finnocchiaro 1974; Halliday 1973 menyebutkan fungsi instrumental; dan Jakobson 1960 menyebutkan fungsi retorikal). Disini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimaui si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, imbauan, permintaan maupun rayuan.
Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini berfungsi fatik (Jakobson 1960; Finnocchiaro 1974 menyebutkan interpersonal; dan Halliday 1973 menyebutkan interactional), yaitu fungsi menjadi hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas nasional.
Dalam masyarakat, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sangat beragam. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena interaksi sosial yang mereka lakukan beragam.
Menurut Moeliono (1980:17), mengikuti Quirk, Grenbaum, Leech, Svarvik (1972), ditinjau dari sudut pandangan penuturnya, ragam dapat diperinci menurut patokan daerah, pendidikan, dan sikap penutur.
Sarkasme adalah sejenis majas yang mengandung mengolok-olok atau sindiran pedas dengan menyakiti hati (Purwadarminta dalam Tarigan, 1990:92). Apabila dibandingkan dengan ironi dan sinisme, maka sarkasme ini lebih kasar. Menurut Badudu (1975:78), sarkasme adalah gaya sindiran terkasar. Memaki orang dengan kata-kata kasar dan tak sopan di telinga. Biasanya diucapkan oleh orang yang sedang marah.
Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti aktivitas sosial lainnya, kegiatan bahasa bisa terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, pembicara dan lawan bicara sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan bicaranya. Setiap peserta tindak ucap bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi sosial itu (Alan dalam Wijana, 2004:28).
Di dalam berbahasa juga terdapat
etika komunikasi, dan di dalam etika komunikasi itu sendiri terdapat moral.
Moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan yang memuat ajaran
tentang baik dan buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan
yang baik atau buruk (Burhanudin Salam, 2001:102).
Etika juga bisa diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri juga sering digunakan dengan kata moral, susila, budi pekerti dan akhlak (Burhanudin Salam, 2001:102).
Sementara itu, secara sederhana Prof. I. R. Poedjowijatna (1986), mengatakan bahwa sasaran etika khusus kepada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal banyak yang tidak mengandung etika.
Dalam berkomunikasi, tidak akan
pernah lepas dengan adanya pola berbahasa yang diucapkan kasar, baik berupa
mengolok-olok atau sindiran yang menyakitkan hati. Seperti tuturan yang
diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur tidak mengandung
unsur kesantunan berbahasa. Misalnya, mudah marah, kata-katanya kasar, dan
bersifat memaksa saat meminta uang karena mereka merasa penguasa tempat
tersebut.
Suparno menjelaskan dalam artikelnya, bahwa ragam bahasa yang tidak santun ini menjadi hal yang lazim diucapkan. Sarkasisasi tersebut justru menjadikan keakraban tanpa sekat strata, sehingga mereka yang menggunakan ragam bahasa tersebut dapat menikmatinya dengan senang dan bangga hati. Skripsi Bahasa Indonesia dan Sastra
Fenomena kebahasaan ini tentu saja menarik untuk diteliti karena dapat menambah wawasan keilmuan linguistik saat ini. Penulis memilih analisis kesantunan berbahasa pada tuturan orang-orang penghuni terminal berdasarkan pertimbangan bahwa; ragam bahasa yang kasar kerap kali menjadi instrumen komunikasi dalam pergaulan sebagian masyarakat Indonesia. Baik kalangan yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan, karena penelitian mengenai kesantunan berbahasa ini masih jarang dilakukan, maka penulis tertarik untuk menelitinya.
1. 2. Identifikasi Masalah
Hal-hal yang diidentifikasi dari
penelitian ini adalah sebagai berikut: Skripsi Bahasa Indonesia dan Sastra
1.
wujud
ragam bahasa yang dipakai oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur;
2.
bahasa
yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur banyak yang
tidak santun;
3.
ragam
bahasa yang tidak sepantasnya diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan
kondektur dan;
4.
penyimpangan-penyimpangan
prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan
kondektur.
1. 3. Batasan
Masalah .
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
1.
tuturan
calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang tidak mengandung kesantunan;
2.
ragam
bahasa yang tidak sepantasnya diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan
kondektur;
3.
penyimpangan-penyimpangan
prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan
kondektur di terminal angkot/bus.
1. 4. Rumusan Masalah:
1.
Bagaimana
realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal?
2.
Apa
sajakah wujud ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh calo, pedagang
asongan, supir, dan kondektur?
3.
Bagaimana
penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan,
supir, dan kondektur?
4.
Bagaimana
persepsi penyimak bahasa yang berasal dari luar lingkungan terminal terhadap
realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan terminal?
1. 5. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah
Tujuan penelitian ini adalah
1.
mendeskripsikan
kesantunan berbahasa oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di
lingkungan terminal;
2.
untuk
mencari tahu ragam bahasa yang digunakan oleh calo, pedagang asongan, supir,
dan kondektur di lingkungan terminal;
3.
mendeskripsikan
penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan,
supir, dan kondektur di lingkungan terminal dan;
4.
mengetahui
persepsi penyimak bahasa di luar lingkungan terminal terhadap kesantunan
berbahasa calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur.
1. 6. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini sebagai berikut.
1.
Untuk
kajian linguistik, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya data
tentang penelitian bahasa-bahasa kasar.
2.
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat mendokumetasikan nilai-nilai kesantunan yang dituturkan
di lingkungan terminal.
BAB
II
METODE
DAN TEKNIK PENELITIAN
2. 1. Metode Penelitian
Latar belakang dan masalah yang muncul dalam penelitian ini adalah masalah-masalah faktual. Maksudnya, masalah kesantunan berbahasa adalah masalah yang sedang dihadapi oleh pemakai bahasa Indonesia sekarang. Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif bersifat deskriptif. Data yang dihasilkannya berupa kata-kata dan kalimat-kalimat yang termasuk kategori sarkasme yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal.
Istilah deskriptif itu menyarankan bahwa penelitian yag dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta-fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti adanya. Bahwa perian yang deskriptif itu tidak mempertimbangkan benar salahnya penggunaaan bahasa oleh penutur-penuturnya, hal itu merupakan cirinya yang pertama dan terutama (Sudaryanto : 1992:62).
Dalam hal ini penulis membuat deskripsi tentang bagaimana tuturan yang digunakan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. Selain itu, penulis juga mengumpulkan fakta-fakta mengenai respons para penutur bahasa Indonesia yang tidak menggunakan tuturan sarkasme yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. Dengan demikian, dari kedua fakta tersebut di atas dapat diperoleh persepsi yang muncul dari penutur bahasa Indonesia ketika menerima suatu tuturan sarkasme calo, pedagang asongan, supir dan kondektur tersebut.
Metode penelitian deskriptif
kualitatif dipilih karena penulis mengidentifikasi serta mendeskripsikan
masalah-masalah yang berkenaan dengan tuturan yang tidak santun dan respons
penutur melalui wawancara. Selanjutnya, penulis memperoleh data bagaimana
persepsi yang muncul dari para penutur bahasa Indonesia ketika menerima tuturan
yang tidak santun.
2. 2. Teknik Penelitian
2. 2. 1. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, teknik rekam, dan teknik catat. Penulis terlebih dahulu mengobservasi dengan mengamati situasi dan keadaan lingkungan, kemudian melakukan wawancara kepada calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur dengan melakukan wawancara berstruktur untuk mendapatkan informasi yang relevan. Selanjutnya, dengan teknik rekam penulis merekam kejadian faktual di lapangan. Terakhir langkah dilakukan dengan teknik catat, yaitu mencatat semua kejadian dari tuturan calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di Terminal Senen Jakarta Pusat.
Selanjutnya, proses pengumpulan data sebagai berikut:
1. Teknik Rekam
Penulis meminta bantuan kepada teman yang berada di Jakarta Pusat menggunakan telepon genggam atau handphone untuk merekam tuturan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur, sehingga penulis akan mendapatkan data mengenai realisasi kesantunan berbahasa yang ada di lingkungan terminal, khususnya Terminal Senen Jakarta Pusat.
Penulis meminta bantuan kepada teman yang berada di Jakarta Pusat menggunakan telepon genggam atau handphone untuk merekam tuturan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur, sehingga penulis akan mendapatkan data mengenai realisasi kesantunan berbahasa yang ada di lingkungan terminal, khususnya Terminal Senen Jakarta Pusat.
2. Teknik Catat
hasil dari proses rekaman tuturan tersebut kemudian ditranskripsi beserta konteks yang dituturkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. Setelah itu, akan didapatkan data tentang wujud ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal.
hasil dari proses rekaman tuturan tersebut kemudian ditranskripsi beserta konteks yang dituturkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. Setelah itu, akan didapatkan data tentang wujud ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur di lingkungan terminal.
3. Teknik
Observasi
setelah data tertulis didapat, selanjutnya mengobservasi situasi dan keadaan lingkungan terminal. Melalui teknik ini kita akan mendapatkan data tentang penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang ada di lingkungan terminal.
setelah data tertulis didapat, selanjutnya mengobservasi situasi dan keadaan lingkungan terminal. Melalui teknik ini kita akan mendapatkan data tentang penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur yang ada di lingkungan terminal.
4. Teknik
Wawancara
setelah hasilnya ditranskripsi selanjutnya dengan mewawancarai calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. Selain itu, penulis juga mewawancarai penutur bahasa yang bertutur kata sopan dan santun sehingga akan diketahui persepsi penyimak bahasa terhadap realisasi kesantunan berbahasa yang berasal dari luar lingkungan terminal.
setelah hasilnya ditranskripsi selanjutnya dengan mewawancarai calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. Selain itu, penulis juga mewawancarai penutur bahasa yang bertutur kata sopan dan santun sehingga akan diketahui persepsi penyimak bahasa terhadap realisasi kesantunan berbahasa yang berasal dari luar lingkungan terminal.
BAB
III
ANALISIS
DATA TUTURAN LANGSUNG BERBAHASA DI LINGKUNGAN TERMINAL DAN RESPONS PARA PENUTUR
BAHASA INDONESIA SERTA PEMBAHASAN
3. 1. Pengantar
Pada bab ini akan dibahas bagaimana tuturan langsung dan pelanggaran prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, kondektur, dan supir angkot yang berada di lingkungan terminal, serta bagaimana respons penutur bahasa Indonesia terhadap kesantunan berbahasa dari hasil wawancara. Kartu data untuk menganalisis tuturan-tuturan yang terjadi di lingkungan terminal.
Uraian ini menggambarkan analisis tuturan langsung yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, kondektur, dan supir ditinjau dari kesantunan berbahasa, prinsip kesopanan (Leech) dan respons para penutur bahasa Indonesia.
Dalam mengumpulkan data penulis harus terjun langsung ke lapangan, yaitu daerah Terminal Senen Jakarta Pusat. Selama beberapa hari penulis mengamati kejadian yang ada di lingkungan terminal tersebut. Tuturan-tuturan yang diucapkan oleh orang-orang yang berada di lingkungan terminal terutama calo, pedagang asongan, supir dan kondektur, hanyalah tuturan yang mengandung kategori ketidaksantunan berbahasa.
Hampir sebagian besar tuturan yang
diucapkan oleh mereka adalah tuturan kasar, sangat tidak enak didengar, dan
melanggar Prinsip Kesantunan Leech. Banyak hal yang menjadi penyebab mengapa
orang-orang di terminal menuturkan tuturan kasar tersebut. Untuk itu dalam bab
4 ini penulis akan menganalisis tuturan kasar yang diucapkan oleh calo, pedagang
asongan, supir dan kondektur yang melanggar prinsip sopan santun (Leech), dan
respons para penutur bahasa Indonesia mengenai tuturan kasar di lingkungan
terminal tersebut.
3. 2. Prinsip Kesantunan Leech
Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual, tetapi seringkali pula berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Prinsip Kesantunan memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerndahan hati, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian.
Pada keenam maksim di atas terdapat bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikannya. Bentuk-bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran impositif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujaran impositif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan.
Berikut ini penulis akan menganalisis tuturan langsung ketidaksantunan berbahasa di lingkungan terminal oleh calo, pedagang asongan, supir, dan kondektur. Tuturan yang dianalisis hanyalah tuturan yang melanggar prinsip kesantunan Leech.
3. 2. 1. Pelanggaran Maksim
Kebijaksanaan
Bijaksana adalah suatu sifat atau karakter. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bijaksana diartikan sebagai sifat yang selalu menggunakan akal budi, arif, adil, kecakapan dalam menghadapi atau memecahkan suatu masalah.
Tuntunan-tuntunan untuk bertutur bijaksana agar tercipta hubungan antara diri (penutur) dan lain (petutur), dipaparkan dalam ilmu bahasa Pragmatik. Gagasan untuk bertutur santun itu dikemukakan oleh Leech dalam maksim kebijaksanaan, yang mengharuskan peserta tutur agar senantiasa berpegang teguh untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan pihak lain.
Bijaksana adalah suatu sifat atau karakter. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bijaksana diartikan sebagai sifat yang selalu menggunakan akal budi, arif, adil, kecakapan dalam menghadapi atau memecahkan suatu masalah.
Tuntunan-tuntunan untuk bertutur bijaksana agar tercipta hubungan antara diri (penutur) dan lain (petutur), dipaparkan dalam ilmu bahasa Pragmatik. Gagasan untuk bertutur santun itu dikemukakan oleh Leech dalam maksim kebijaksanaan, yang mengharuskan peserta tutur agar senantiasa berpegang teguh untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan pihak lain.
Dalam konteks tuturan sehari-hari yang spontan, banyak kita jumpai pelanggaran terhadap maksim ini, baik disengaja ataupun tidak disengaja. Seperti tuturan di bawah ini:
BAB
IV
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN DAN SARAN
4. 1. Kesimpulan
Setelah melakukan analisis terhadap tuturan langsung di lingkungan terminal dan respons penutur bahasa di luar lingkungan terminal, penulis menarik beberapa simpulan sebagai berikut :
1.
Tuturan
yang ada di lingkungan terminal khususnya di Terminal Senen Jakarta Pusat yang
dituturkan oleh calo, pedagang asongan, supir dan kondektur semuanya tidak
mengandung unsur kesantunan berbahasa dan melanggar Prinsip Kesantunan Leech.
2.
Wujud
ragam bahasa yang tidak santun yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan,
supir dan kondektur sangatlah kasar. Seperti misalnya terdapat nama-nama
binatang yang sering diucapkan oleh mereka. Wujud ragam bahasa tersebut sangat
tidak enak didengar, menyakitkan hati, bicara dengan kepahitan, mengolok-olok
atau sindiran dan mengandung celaan getir.
3.
Penyimpangan
prinsip kesopanan yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir dan
kondektur melanggar maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan,
maksim kerendahan hati, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian. Pelanggaran
terbesar ada pada maksim kebijaksanaan. Maksim kebijaksanaan ini menggariskan
setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain dan
memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.
4.
Persepsi
penutur bahasa di luar lingkungan terminal seperti guru, mahasiswa, karyawan
swasta dan ustadz beranggapan bahwa tuturan yang ada di lingkungan terminal
sebagian besar adalah tuturan kasar. Menurut mereka yang menjadi latar belakang
penutur mengucapkan tuturan kasar adalah latar pendidikan yang rendah,
lingkungan yang memungkinkan mereka untuk bertutur kasar dan landasan iman yang
kurang kuat.
5.
Tuturan
kasar yang diucapkan oleh calo, pedagang asongan, supir dan kondektur yang
melanggar Prinsip Kesantunan Leech ternyata sudah menjadi bahasa sehari-hari
yang mereka ucapkan jika berada di lingkungan terminal, namun jika mereka
berada di luar lingkungan terminal mereka tidak menuturkan tuturan kasar
tersebut.
6.
Faktor
yang menjadi penyebab calo, pedagang asongan, supir dan kondektur menuturkan
tuturan kasar adalah faktor lingkungan dan faktor social. Faktor lingkungan
timbul karena perbedaan asal daerah penuturnya. Maksudnya mereka menuturkan
tuturan kasar tersebut karena memang lingkungan yang mereka hadapi menerima dan
tidak terlalu peduli dan situasinya memang mendukung untuk mengucapkannya.
Sedangkan faktor sosial timbul karena perbedaan kelas sosial penuturnya karena
para penghuni yang bekerja di lingkungan terminal sebagian besar memang status
sosialnya rendah dan latar belakang pendidikan mereka juga rendah.
4. 2. Saran
Berdasarkan hasil analisis data dan simpulan yang telah penulis kemukakan di atas, pada bagian ini penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1.
Penulis
berharap ada penelitian lanjutan yang lebih spesifik terhadap realisasi
kesantunan berbahasa di lingkungan terminal, dengan kajian yang menarik, sample
yang lebih besar, dan teknik analisis yang lebih mendalam untuk mendapatkan
hasil kajian yang sempurna.
2.
Seiring
dengan masih jarangnya penelitian mengenai kesantunan berbahasa, maka
penelitian ini perlu mendapatkan perhatian dari para ahli bahasa. Terutama
pihak yang berwenang dalam bidang ini mampu memberikan bantuan demi melancarkan
penelitian.
3.
Agar
dalam melakukan penelitian secara langsung ke lapangan penulis diberikan
kemudahan dalam mendapatkan data dari sumber yang dituju.
4.
Berharap
jika ada penelitian lanjutan, peneliti selanjutnya lebih berani mengungkapkan
fakta-fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan, tidak terpaku pada apa yang
dilihat dan didengar saja.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar (2003). Pokoknya Kualitatif. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya dan Pustaka Studi Sunda.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
Hanafi, Abdillah. 1984. Memahami Komunikasi Antar Manusia. Surabaya: Usaha Nasional.
Hasan, Alwi. 1995. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Harras, Kholid A. Santun Berbahasa. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
_______. ____. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta : Balai Pustaka.
_______. 2009. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, EYD TERBARU (Permendiknas Nomor 46 Tahun 2009). Yogyakarta: Pustaka Timur.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : PT. Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar